Feeds:
Posts
Comments

Archive for September 16th, 2008

Jum’at, 12 September 2008 , 13:07:00

Perbaikan Hutan Butuh Keseriusan

Pontianak, Hutan Kalbar kaya akan keanekaragaman hayati. Hutan memberi manfaat bagi kehidupan manusia baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun sumber obat-obatan bagi bermacam penyakit. Dan, hutan juga sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan manusia.


“Keanekaragaman itu kini sudah mulai terkikis akibat berbagai aktivitas manusia yang melakukan ekploitasi hutan tanpa berpikir kelestarian sehingga butuh orang-orang yang bijak untuk mengatasi krisis di sektor kehutanan ini,” kata Firanda SH, aktivis lingkungan dan juga koordinator Komunitas Pemantau Peradilan Kalbar (Komppak), kemarin.


Menurutnya, jumlah penduduk terus bertambah, tingkat pembangunan di kota dan desa di Kalbar terus mengalami perubahan sehingga mau tidak mau terjadi peningkatan pad kebutuhan bahan baku kayu baik secara kualitas dan kuantitas. “Konsekuensi kebutuhan tersebut menimbulkan peluang dan kesempatan untuk exploitasi hutan secara besar-besaran, kebutuhan kayu tidak memandang jenis kayu dan ukuran, semuanya digarap,” jelasnya.


Besarnya jumlah permintaan kayu telah memacu harga kayu di pasaran meningkat sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut, orang dengan mudah menebang karena tergiur oleh harga yang tinggi. Ekploitasi kayu yang meningkat tajam, penggundulan hutan, pencurian kayu di hutan lindung sering terjadi. “Contoh kasus hutan lindung Bukit Punai Laki di Sintang. Ini sangat ironis dengan dampak yang ditimbulkan seperti sekarang yang terjadi banjir,” tukasnya.


Ancaman Terhadap Hutan


Sudah menjadi hukum alam bahwa di mana banyak permintaan sedangkan barangnya terbatas maka nilai jual akan semakin tinggi, ini berakibat ekploitasi tanpa batas dan tidak melihat koridor hukum lagi, hukum di buat bolak-balik tanpa aturan, nafsu serakah tanpa batas untuk kaya dalam waktu singkat yang memacu semangat ekploitasi hutan. “Semangat tersebut membuat cukong menghamburkan miliaran rupiah untuk mendapatkan kayu-kayu tersebut, diperparah juga tidak kalah lebih nafsu oknum birokrasi dan penegak hukum mengais rezeki dengan menggadaikan harga diri dan jabatan untuk mendapatkan rupiah dari cukong-cukong kayu,” tandasnya.


Peranan birokrat terhadap kejahatan kehutanan menurutnya cukup besar dengan berbagai skenario. Bentuk kejahatan dapat dilihat misalnya dengan dokumen terbang dan lelang,  atau modus pembukaan lahan perkebunan di kawasan hutan yang banyak kayunya, perizinan penggergajian kayu (sawmill) tidak ditertibkan.


“Di tambah lagi pengawasan terhadap toko-toko bangunan yang menjual kayu tidak dicek asal kayu semakin membuka lebar ekploitasi hutan yang ada semakin besar dan tidak terbendung, baik secara politik dan hukum yang berlaku di negara hukum sekalipun,” ungkapnya.


Penegakan hukum terhadap pelaku menjadikan sumber harapan perlindungan hutan. Kini berubah menjadi alat pembenaran secara sah dan meyakinkan bahwa perbuatan para pelaku pencuri kayu dengan keputusan pengadilan tidak bersalah secara meyakinkan. Padahal, fakta sangat terang atas perbuatan tersebut telah melanggar hukum melakukan pencurian kayu, namun miliaran rupiah cukong membuat fakta menjadi temaram.


“Lalu bagaimana nasib rakyat kecil jelata yang ada yang hidup tanpa pendidikan tanpa tahu tentang hak dan kewajiban hukum tentang kayu. Dapat ditebak mereka menjadi boneka dan kambing hitam pemilik modal dan penguasa, mereka hanya bisa mengutuk nasib mereka yang telah diperdaya, jeruji besi menjadi akhir dari perjalanan mereka,” terangnya.
Pemahaman Kembali Hutan


Sementara, Aktivis Konsorsium anti Illegal Logging, Sulhani mengatakan, selama ini sumber-sumber kayu berasal dari hutan alam, hutan yang diwariskan Tuhan. Namun, tidak pernah melakukan upaya yang serius menjaga hutan apalagi melestarikan. Padahal, pemahaman kembali tentang hutan bukan tidak bisa dilakukan secara bersama, terpadu, terkoordinasi.


“Melihat luasnya wilayah dan penduduk Kalbar yang sudah terbiasa dan mengenal hutan baik jenis dan bentuk kayu yang ada. Peluang yang dapat di ciptakan mungkin dengan swadaya dan swakelola hutan merupakan potensi yang menjanjikan bagi semangat reboisasi  hutan,” ungkapnya.


Lima hingga 10 tahun mendatang kayu-kayu yang ditanam bisa menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat dan devisa bagi pemerintah, di mana pasar sudah sangat menampung dengan nilai jual yang tinggi. “Ini  tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi pelestarian hutan,” papar Sulhani.


Menurutnya, aktivitas swadaya dan swakelola hutan menjadi embrio baru sumber pemenuhan kebutuhan kayu untuk pembangunan. Yang penting adalah kerja sama antara masyarakat sebagai pengelola dan pemerintah adalah alat transformasi ilmu serta  teknologi tentang kayu secara terpadu.


“Maka ketergantungan terhadap hutan alam berubah menjadi dengan tersedianya kayu-kayu dari swadaya dan swakelola masyarakat, mungkinkah ini bukan hanya wacana politik tetapi sebuah realita,” bebernya. (her)

Read Full Post »

Politik – Hukum – Keamanan Jakarta | Selasa, 09 Sep 2008

Kejagung Dikritik soal Kebijakan Illegal Logging

by : Abdul Razak

KOMISI III DPR RI mengkritik kebijakan Kejaksaan Agung yang menilai bahwa tidak semua perkata pembalakan liar (illegal logging) dapat didakwa melanggar Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kebijakan ini telah dituangkan dalam surat edaran Nomor R042 tertanggal 16 Juli 2008 yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Surat edaran itu menjadi pijakan bagi para jaksa di daerah dalam menangani perkara illegal logging.

Wakil Ketua Komisi III DPR Suripto mengatakan, kerugian negara dalam kasus illegal logging sangatlah besar. Kerugian negara tak hanya diukur lewat tegakan pohon semata, tapi harus dihitung pula akibat berantai yang ditimbulkannya, seperti pelangkaan flora dan fauna, global warming, serta banjir. Karena itu, sangat pantas kalau pelakunya dijerat UU Tipikor.

Dia menyarankan, perlu ada rumusan dan persepsi yang sama dalam menangani illegal logging, khususnya tinjauan dari aspek dampak yang diakibatkannya, yakni kerusakan hutan dan lingkungan.

Senada dengan itu, Anggota Komisi III Gayus Lumbuun menyayangkan kebijakan tersebut, karena 99 persen kasus illegal logging adalah tindak pidana korupsi.

“Dampak kerugian negaranya sangat luas,” kata Gayus.

Menanggapi ini, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin mengatakan, pelaku illegal logging hanya dapat dijerat UU Tipikor jika modus operandinya memenuhi unsur korupsi.

“Apabila modus operandinya memanipulasi dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, manipulasi kubikasi kayu, dan suap atau gratifikasi,” kata saat membacakan jawaban tertulis Jaksa Agung pada rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (8/9).

Jaksa Agung Hendarman Supandji menjelaskan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak dapat menghitung kerugian negara pada tegakan pohon yang ditebang dalam perkara illegal logging. Padahal, perhitungan itu sangat diperlukan sebagai salah satu unsur dalam delik korupsi.

“Kalau tanpa unsur itu, tapi tetap dipaksakan penggunaan UU Tipikor, bisa berakibat kegagalan di persidangan,” katanya.

Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendi menjelaskan, surat edaran itu dikeluarkan agar ada kesamaan persepsi dalam menangani kasus illegal logging. Dia menyampaikan, karena UU Kehutanan sudah mengatur soal kerugian negara, maka UU Tipikor tak bisa masuk ke dalam kasus illegal logging. Itu merupakan pemahaman Mahkamah Agung.

“Maka beberapa kasus illegal logging yang dikenakan UU Korupsi divonis bebas. Pasalnya, UU Kehutanan lebih spesialis dan sistematis mengatur soal kehutanan dan illegal logging,” kata Marwan.

Anggota Komisi III Arbab Paproeka, menyetujui kebijakan tersebut. Namun dia mengatakan agar surat edaran Jaksa Agung dipertegas, agar para jaksa di daerah memahami dan lebih cermat mencari unsur kerugian negara dalam kasus illegal logging.

Read Full Post »